Sejumlah maskapai penerbangan
menutup beberapa rute yang selama ini mereka layani. Alasan mereka bervariasi,
mulai dari mengevaluasi jaringan hingga jumlah penumpang yang tidak bisa
menutup biaya operasional.
General Manager Marketing PT Sky
Aviation Sutito Zainudin, kepada Kompas di Jakarta, Senin (7/4/2014), mengakui
maskapainya berhenti beroperasi untuk sementara.
”Saat ini kami sedang melakukan
pembicaraan dengan investor baru yang akan menambah kekuatan finansial kami.
Proses pembicaraan sudah final. Akan kami bahas lagi dan segera kami
informasikan,” katanya.
Sky Aviation melayani penerbangan
ke 20 kota di Indonesia dan Malaysia, antara lain Jakarta, Surabaya,
Banyuwangi, Denpasar, Maumere, Labuan Bajo, Lampung, Batam, dan Pontianak.
Pemberhentian itu berlaku di semua kota yang dilayani Sky Aviation.
Dari Pontianak, Kalimantan Barat,
Sky Aviation biasa melayani rute Batam dan Natuna. Di kota ini Sky Aviation
sudah tidak beroperasi sekitar 20 hari.
”Hingga saat ini belum ada laporan
resmi kepada kami. Diperkirakan karena penjualan tiket tidak mampu menutup
biaya operasional maskapai, seperti membayar gaji pilot, bahan bakar, dan
perawatan pesawat,” tutur Operation Service Manager Bandara Supadio, Pontianak,
Usmulyani Alkadrie.
Usmulyani mengatakan, saat ini
persaingan antarmaskapai penerbangan semakin ketat. Apalagi dengan sistem yang
sudah semakin terbuka. Akibatnya, maskapai berlomba strategi memenangi
persaingan.
Head of Corporate Secretary and
Communications AirAsia Indonesia Audrey Progastama mengatakan, demi efisiensi,
AirAsia Indonesia menutup rute penerbangan Jakarta-Makassar.
Audrey mengakui, semua maskapai kini
menghadapi tantangan besar dengan mahalnya harga avtur. ”Tantangan harus
diatasi dengan meningkatkan pendapatan dan mengefisiensikan biaya operasional,”
ujarnya.
Evaluasi jaringan
Sebelumnya, maskapai Tigerair
Mandala menutup sementara 11 rute penerbangannya. Penutupan dimulai 10 Februari
2014 karena maskapai sedang melakukan evaluasi jaringan.
Dari Pekanbaru, Riau, dilaporkan,
Sriwijaya Air menghentikan beberapa penerbangan dari dan ke Pekanbaru sejak
sebulan lalu. ”Kami memang menghentikan penerbangan dari dan ke Pekanbaru dalam
rangka restrukturisasi rute, tetapi sifatnya hanya sementara,” ujar Yulisa,
District Manager Sriwijaya Air Pekanbaru.
Yulisa tidak memberikan penjelasan
tentang tenggat restrukturisasi rute penerbangan Sriwijaya Air. Proses kaji
ulang itu sedang dilakukan pihak manajemen. Selama ini, Sriwijaya Air
menerbangi rute dari Pekanbaru ke Medan, Batam, dan Jakarta.
Kepala Humas Sriwijaya Air Agus
Soejono menyatakan, untuk mengurangi beban yang ditanggung, Sriwijaya Air
menutup beberapa rute penerbangan. ”Ada beberapa rute yang ditutup, terutama
semua rute yang menuju Pekanbaru. Selain jumlah penumpangnya rendah, di sana
juga berulang kali ditutup akibat asap. Lebih baik kami menutup rute itu, lalu
memindahkan ke rute lain yang lebih baik,” tutur Agus.
Secara terpisah, Baiquni, Duty
Manager Bandara Sultan Syarif Kasim (SSK) II, Pekanbaru, mengungkapkan,
berhentinya pengoperasian Sriwijaya Air dari dan ke Pekanbaru memang terkesan
mendadak.
Penerbangan dari dan ke Pekanbaru
selama ini, menurut Baiquni, memang cukup ketat. Saat ini ada 16 maskapai yang
melayani penerbangan dari dan ke Bandara SSK II.
Untuk beberapa rute, Sriwijaya Air
harus bersaing dengan Garuda Indonesia, Lion Air, Silk Air, AirAsia Indonesia,
dan Mandala. Dahulu, misalnya, rute Pekanbaru-Medan pergi-pulang hanya dilayani
dua maskapai, yakni Sriwijaya Air dan Lion Air. Belakangan maskapai AirAsia dan
Garuda Indonesia membuka jalur ke Medan sehingga persaingan semakin berat.
Menurut Sekretaris Jenderal
Asosiasi Perusahaan Penerbangan Sipil Nasional Indonesia (INACA) Tengku
Burhanuddin, pendapatan maskapai memang telah bertambah dengan adanya biaya
tambahan (surcharge). Namun, pemulihan dari efek melemahnya rupiah waktu itu
hingga kini masih terasa. Beberapa waktu lalu pemerintah memperbolehkan
maskapai menerapkan tambahan biaya Rp 60.000 per jam terbang. Namun, hingga
saat ini beban maskapai penerbangan masih terasa berat.
”Ada banyak sebab mengapa saat ini
maskapai penerbangan masih merasakan beban yang cukup berat. Nilai rupiah saat
ini sudah lebih menguat atas dollar AS, tetapi belum kembali ke bawah Rp
10.000. Harga avtur masih sangat tinggi. Selain itu, sudah jadi kondisi umum,
selama Januari-April, penumpang penerbangan pasti menurun,” kata Tengku.
Tengku membantah adanya perang
tarif di antara maskapai penerbangan sehingga penerbangan-penerbangan kecil tak
kuat menghadapi tarif yang ditetapkan maskapai besar. ”Kalau itu tidak mungkin
terjadi saat ini. Mau seberapa murah tarif dapat diterapkan ketika biaya
operasional begitu tinggi,” ujarnya.
Menurut Presiden Direktur Citilink
M Arif Wibowo, strategi Citilink adalah memaksimalkan perjalanan yang sudah ada
tanpa menurunkan harga. Menurut dia, sebenarnya animo masyarakat untuk terbang
masih tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar